Jumat, 13 Desember 2013

Produktivitas Hasil Wakaf Produktif Untuk Kembangkan UMKM Muslim


Karena wakaf produktif mempunyai orientasi kedepan dengan tujuan kemaslahatan umat dalam mewujudkan maqasid syariah, dalam hal ini pemanfaatkan hasil wakaf produktif secara terus menerus . Penggunaan hasil wakaf produktif tidak hanya untuk suatu kepentingan tertentu, melainkan juga harus dikembangkan untuk kepentingan dan kesejahteraan umat. Sebagai sarana untuk menunjang kesejahteraan umat, hasil dari wakaf produktif tidak hanya untuk keperluan konsumtif atau investasi yang hasilnya tetap untuk hal-hal yang bersifat konsumtif.
Hasil dari wakaf produktif dapat terus dikembangbiakkan secara kolektif untuk sesuatu yang bersifat produktif lagi, tidak hanya produktif secara materi melainkan juga produktif secara skill dari sumber daya manusianya. Untuk pembinaan wirausaha misalnya, dari hasil wakaf produktif tersebut dapat digunakan sebagai sumber modal dalam pembentukan UMKM muslim. Keberadaan UMKM muslim ini tentunya akan lebih menigkatkat kesejahretaan umat dari segala aspek, dari segi relegius, ukhuwah islamiyah dan skill kewirausahaan.
Seperti yang diketahui UMKM dapat menyerap tenaga kerja, hal ini berarti, akan banyak rakyat yang miskin yang akan memperoleh lapangan pekerjaan untuk menunjang perekonomiannya. Dengan terserapnya tenaga kerja dari kalangan orang muslim miskin, maka akan meningkatkan pendapatan mereka sehingga kemandirian akan terwujud.
Dalam mengembangkan hasil dari wakaf produktif menjadi suatu jenis usaha yang mandiri tentulah banyak membutuhkan persiapan yang matang. Dalam hal ini dibutuhkan peran nadzir wakaf yang profesional dan kompeten, bila perlu nadzir wakaf produktif bukanlah perorangan, melainkan sebuah lembaga yang memiliki sumber daya yang profesional dan mumpuni dalam pengelolaan keuangan. Fungsi lembaga nazdir disini menyerupai fungsi perbankan dalam hal penyaluran dana dari para muwakif. Para nadzir harus bisa memilih para calon penerima hasil dari wakaf produktif yang kemudian bisa dikembangkan untuk usaha UMKM mandiri. Analisis 5C dalam perbankan juga harus diterapkan. Setelah UMKM terbentuk, adanya pengawasan dan pembinaan terhadap UMKM, mulai dari pendirian, perekrutan pekerja sampai benar-benar UMKM tersebut dapat tumbuh dan berkembang.
UMKM yang telah tumbuh dan berkembang terus disupport dan dibina sehingga hasil dari UMKM tersebut dapat dijadikan modal tambahan pengembangan. Tetapi disini harus disisihkan bebarapa persen dari keuntungan usaha UMKM untuk dikumpulkan dan menjadi modal baru UMKM. Pembentukan UMKM mandiri baru dari hasil UMKM yang telah ada, bagitu seterusnya sehingga akan banyak UMKM mandiri yang terbentuk dari hasil wakaf produktif.

Untuk terus memproduktivitaskan hasil dari wakaf produktif diperlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pengurusan wakaf produktif, antara lain :
1.      Lembaga nadzir yang profesional dan mumpuni dalam pengelolaan dan pengembangan dari hasil wakaf produktif, disini peran nadzir sangat menentukan apakah hasil wakaf produktif tersebut dikembangkan atau hanya untuk konsumtif.
2.      BWI sebagai lembaga perwakafan tertinggi di Indonesia harus bisa berfungsi sebagai pengawas terhadap pengelolaan hasil wakaf produktif yang dilakukan oleh para nadzir. Disini fungsi BWI seperti BI dalam mengawasi perbankan. Dan BWI harus membuat semacam panduan dan pedoman dalam pengelolaan dari wakaf produktif, mungkin juga bisa dibentuk sebuah produk penyaluran dana dari hasil wakaf produktif untuk pos-pos pengembangan usaha dan UMKM.
3.      Pemerintah harus mengeluarkan UU yang mengatur pengelolaan wakaf produktif secara spesifik lagi dan jelas, sehingga ketika ada pelanggaran dalam wakaf produktif dapat ditindak secara hukum.
4.      Sumber daya umat muslim juga harus berbudaya produktif, sehingga ketika ada nadzir yang akan menyalurkan dana dari hasil wakaf produktif, si nadzir tidak harus terlalu repot melakukan pembinaan ketika budaya umat muslim sudah produktif.

Jumat, 29 November 2013

Permasalahan Wakaf Tanah Di Indonesia


             Latar Belakang
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam dan menempati ranking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Negara Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam.
Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakaf di akherat. Sedangkandalam fungsi sosial wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan.
Munculnya penyimpangan pada pengelolaan wakaf akan menjadikan suatu masalah serius dalam dinamika kehidupan beragama di negara Indonesia apabila penyelesaian atas masalah tersebut tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.

             Praktik perwakafan tanah di Indonesia

Dalam undang-undang RI tentang wakaf diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunanpembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orangorang yang menggarapnya.
Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf.Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif. Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali.
Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir.

Solusi
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya disebutkan dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah.
Selain daripada itu, tugas BWI sebagai lembaga tertinggi dalam hal perwakafan harus lebih aktif lagi membina para nadzir dalam hal penerimaan dan pengelolaan harta wakaf. Karena sangketa yang terjadi dalam wakaf tanah ini karena kurang profesionalnya nadzir dalam menerima tanah wakaf saat akad wakaf terjadi. Seharusnya ketika ada wakif yang akan mewakafkan sebidang tanah, nadzir harus memberikan fasilitas notaris apabila tanah tersebut belum mempunyai akta atau sertifikat tanah. Nadzir juga harus memberikan sertifikat wakaf yang dikeluarkan oleh BWI sebagai bukti yang menjelaskan apasaja akad yang tertuang dalam wakaf tersebut, apakah akad wakaf tanah untuk selamanya atau hanya untuk jangka waktu tertentu. Sehingga tidak akan terjadi sangketa antara ahli waris wakif dan nadzir karena telah memiliki bukti akad wakaf yang sah dan dikuatkan secara hukum. Yang tidak kalah penting adalah adanya para saksi ketika akad wakaf terjadi.
            Kesimpulan
Permasalahan wakaf tanah di Indonesia sering kali terjadi, karena selain praktiknya masih menggunakan cara agamis, juga masih minimnya nadzir yang profesional dalam hal mengelola harta wakaf. Padahal dalam undang-undang menyebutkan bahwa hak nadzir adalah 10% atas pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Hal ini merupakan potensi seperti halnya profesi amil yang mendapatkan 12,5% atas harta penerimaan zakat
Permasalahan sangketa tanah di Indonesia sudah seharusnya tidak terjadi lagi. BWI harus dapat meningkatkan perannya  sebagai badan wakaf yang paling bertanggung jawab atas segala permasalahan wakaf yang ada, tentu saja pemerintah juga bertanggung jawab sebagai regulator atas undang-undang wakaf.
Nadzir saat ini harus menjalankan tugasnya sebagai pengelola harta wakaf secara profesional, tidak hanya dikerjakan secara agamis tapi juga bisa mengikuti perkembangan zaman dalam hal pengelolaan.


      Daftar Pustaka
Ismawati. 2007. Penyelesaian Sangketa Tanah Wakaf, StudiTerhadaf Tanah Wakaf Banda Masjid Agung Semarang. Semarang : Tesis UNDIP.
Musthofa, Hidayatul. Sangketa Wakaf Tanah, Makalah Fakultas Syariah. lantaburnet.blogspot.com Diakses pada 22 November 2013.
UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf


Sabtu, 16 November 2013

Ketika Derita Mengabadikan Cinta Oleh: Habiburrahman El Shirazy


Kini tibalah saatnya kita semua mendengar nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof.Dr.Mamduh Hassan Al Gonzouri. Beliau adalah ketua Ikatan  Doktor Cairo dan direktor Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar saraf terkemuka di Timur Tengah, yang tidak lain adalah juga pensyarah bagi kedua mempelai. Kepada Professor Mamduh dipersilakan”.

Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan sering muncul di televisyen itu.

Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh bingkai kacamatanya,lalu… Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du. Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan nasihat lazimnya para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita.

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Hadirin yang terhormat,

Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana kebangsawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan!

Entah mengapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan hidup sebenar yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengalas perut dianggap memalukan keluarga.

Namun saya tidak ambil peduli. Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq. Sebaik masuk fakulti kedoktoran, saya dibelikan kereta mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan kereta biasa sahaja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah. Tapi beliau menolak mentah-mentah. “Justeru dengan kereta mewah itu kamu akan dihormati siapa sahaja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai kereta itu meskipun dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di hati, saya meletakkan kereta itu jauh dari tempat kuliah.

Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang gadis yang penuh pesona zahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya. Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakulti. Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus. Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Sebaik saja saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan terus membanting gelas yang ada berdekatannya. Bahkan beliau mengancam: “Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama beliau masih hidup rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Hadirin semua,

Adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu adalah tukang cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajipannya pada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”. Melalui tangannya ia lahirkan tiga orang doktor, seorang jurutera dan seorang leftenan, meskipun dia sama sekali tidak pernah mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya sendiri berdiri, tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pasangannya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah, ibu terus merestui dan menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina , bertukar ganti pasangan dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang entah keberapa di luar aqad nikah, malah direstui dan diberi biaya maha besar? Dengan senang ayah menjawab: “Kerana kamu memilih pasangan hidup dari golongan yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman wanita adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Gonzouri”.

Hadirin semua,

Semakin perit luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat mahu datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahawa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rancangan saya. Namun la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan “Pasha”. Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad bernikah dengan saya. Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak kerana alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang–orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke pejabat ma’adzun syari (petugas pencatat nikah) disertai tiga orang sahabat karibku. Kami berikan identiti kami dan kami minta ma’adzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikut madzhab Imam Hanafi. Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah Radiyallahu ‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia dan airmata ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad nikah itu. Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang sah di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami isteri yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan siapa pun kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam telinga isteri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih, dan sengsara bercampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dakapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami. “Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini Maafkan kanda!. “Tidak Kanda tidak salah, langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak boleh menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahawa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini, percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa mendampingi Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus. Kita akan buktikan pada mereka bahawa kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita berikan senyuman kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi doktor. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan wang sebanyak 40 pound.

Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami boleh meminjam telefon di sebuah kedai dua puluh empat jam. Saya Berjaya menghubungi seorang teman yang boleh memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan menghantarkan kami dengan keretanya mencarikan lokandat (rumah penginapan) ala kadarnya yang murah. Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami disedarkan kembali bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengharunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami hidup dalam lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya menemukan rumah sewa sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.

Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami, ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang, sehingga dia menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kerusi dan satu dapur gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih. Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap
merasa bahagia, kerana kami selalu bersama.

Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan syurga di akhirat. Kerana di syurga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setitis rasa ni’mat yang disediakan Allah di syurga. Jika percintaan suami isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat dari itu semua. Ni’mat cinta di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’matdalah cinta yang diberikan Allah kepada penghuni syurga, saat Allah memperlihatkan wajahNya. Dan tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai ni’mat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di syurga. Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu memakai tudung, dan tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi puteri raja yang cantik mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah doktor yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga seorang wanita yang pandai mengurus wang.

Wang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah membayar rumah cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu bulan. Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata ada juga ya yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.” Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya seperti saudara sendiri. Ada yang menawari isteri agar menumpangkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor yang sibuk. Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami diketuk dengan kasar dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya. Mereka merosakkan segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka patah-patahkan, begitu juga kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman: “Kalian tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya naik menjadi jeneral. Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak-rabak tidak karuan itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat bergenggaman, seolaholah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan tekanan hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah tak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang teman bahawa ayah telah merancang scenario keji untuk memenjarakan isteri saya berdua dengan tuduhan wanita pelacur. Semua orang juga tahu kuatnya pegawai perisik ketenteraan di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di bawah telapak kaki mereka. Saya hanya boleh pasrah segalanya kepada Allah mendengar hal itu. Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak mengurangkan niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya memperdaya beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan akan berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap minggu sambil meminta beliau bersabar, sampai berjaya meyakinkan saya untuk menceraikan isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib militer (tentera). Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya takutkan, tidak ada kemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak dapat tidur kerana memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hambaNya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapat kesempatan bekerja sementara di sebuah klinik kesihatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah. Selesai wajib militer, saya terus menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestin yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita.

Sambil menatap ke kaki langit
Kukatakan padanya
Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba
Bukan kerana ketiadaan kata-kata
Tetapi kerana kupu-kupa kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
***
Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirehat dari nestapa dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah berkeras untuk masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister. Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak: “Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.” Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya. Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup
baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntah-muntah. Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan dan cinta yang mendalam padanya. Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara. Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.

Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai. Tetapi isteriku memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah saya tolak: “Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada salahnya kita raih sekalian tahap akademik tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.” Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan. Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup.

Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajrkan bahawa penderitaan boleh mengekalkan cinta, dialah Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”

Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video menyuting sosok perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru tuanya. Perempuan itu sedang mengusap cucuran airmatanya. Kamera itu juga merakam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai dan segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan saksama.

Rabu, 06 November 2013

Etika Bisnis Perbankan Syariah

Fenomena yang menjadi latak belakang pentingnya pembicaraan, pembahasan dan kesepakatan tentang etika dalam sebuah bisnis perbankan syariah:

1. Adanya pihak yang dirugikan karena perilaku pihak lain, contoh: Bank : Nasabah, Pemilik : Pengelola.
2. perkembangan praktek bisnis perbankan bisa cenderung berakibat kepada hal yang tidak diinginkan
    contoh : Orientasi bisnis, pola kerja.

Perbuatan moral diartikan sebagai perbuatan baik dan buruk dalam kegiatan bisnis perbankan dan secara umum, etika merupakan dasar moral yang menyentuh aspek individu dan peraturan sosial. 
Pola kehidupan masyarakat/organisasi:
1. Saling mewujudkan kepentingan : tujuan dan kondisi
2. Saling melindungi dari bahaya : keamanan, kerukunan.

Tujuan pokok mengenal etika bisnis perbankan syariah:
mempengaruhi dan mendorong kehendak setiap individu supaya mengarah kepada pemahaman teori dan kegiatan operasinal bank yang baik, benar dan bermanfaat luas sesuai ketentuan syariah dan peraturan yang berlaku.
Keputusan rasional sebuah bank syariah selaras dengan kaidah syariah dan hukum yang berlaku, umumnya didasarkan pada rangkaian keputusan yang dibuat perusahaan/bank syariah yang dipandu oleh:
1. Peraturan Intern
2. UU Perbankan
3. Asosiasi
4. Kebiasaan, falsafah, budaya dan etika bisnis.

Kode Etik diperlukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan antara :
1. Idealisme bankir syariah
2. tuntutan pemilik/ pemegang saham.
kode etik dipandang mampu melindungi kepentingan berbagai pihak dalam menjalankan bisnis perbankan syariah apabila dibuat dan ditaati bersama


Kontroversi Seputar Otoritas Jasa Keuangan



Menurut UU No 21 tahun 2011 Bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan OJK “adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi. Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya.
Keberadaan OJK dirasa penting untuk menguatkan ketahanan jasa keuangan di Indonesia. Sehingga nanti akan ada sistem pengawasan keuangan terintegrasi. Ada pengawas bank, pasar modal, asuransi dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar bisa saling mensinergi dan melengkapi celah-celah kelemahan di masing-masing sektor. Gonthor R. Aziz memaparkan, sebelum tahun 2006 pengawasan jasa keuangan dilakukan oleh tiga lembaga, misalnya pasar modal dilakukan Bapepam, sektor industri keuangan (asuransi, finance dll) lembaga pengawas keuangan. Sedangkan perbankan diawasi oleh Bank Indonesia..
Wacana pembentukan OJK di Indonesia dicetuskan pascaterjadinya krisis 1998. Saat itu tren memisahkan fungsi pengawasan begitu gencar didengungkan di dunia internasional. Di beberapa negara isu ini bahkan sudah santer sejak 1990-an bersamaan dengan euphoria of central bank independence. Pada umumnya, pengawasan perbankan di dunia saat ini berkembang menjadi tiga model.
Pertama, pengawasan menyatu di bank sentral, seperti yang saat ini dilakukan Bank Indonesia (BI). Kedua, pengawasan dilakukan secara terpisah dari bank sentral atau diselenggerakan oleh badan otoritas jasa keuangan, seperti di Korea Selatan.Ketiga, seperti yang digunakan di Jepang. Bank sentral di Jepang, Bank of Japan, masih memiliki kewenangan untuk mengakses informasi dan mengawasi lembaga keuangan dan perbankan, meskipun di negara itu juga terdapat Financial Services Agency (FSA) yang berperan sebagai OJK.
Beberapa negara yang mengimplementasikan OJK ada yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal. Seperti dikutip di sebuah media, beberapa ahli perbankan melakukan analisis. Hasilnya, dari 24 negara, mereka menemukan bahwa kasus kegagalan bank justru lebih sedikit terjadi di negara yang fungsi pengawasannya tetap berada di bawah bank sentral. Fakta inilah yang kemudian menimbulkan keraguan di Indonesia yang baru akan mengalihkan fungsi pengawasannya menjadi satu di OJK. Menurut Deputi Gubernur BI, S. Budi Rochadi, gagalnya Financial Supervision Services (FSS) di Korea Selatan disebabkan tidak adanya koordinasi data antara bank sentral dan FSS. Masalah serupa juga dialami FSA di Inggris. “Masalahnya sama seperti di Korea Selatan, tidak ada koordinasi data. Ketika Northern Rock kesulitan likuiditas, bank sentralnya tidak tahu,” ujar Budi. 
Jika mau mengambil contoh yang sukses, yaitu yang terjadi di Jepang, Cina, dan Prancis. “Kesamaannya karena adanya koordinasi data tadi,” kata Budi. Di Prancis bank sentralnya masih bisa mengakses data sehari-hari, meski fungsi pengawasan juga dipisahkan. Sementara, di Cina, bank sentral (People Bank of China atau PBC) sangat kuat dalam struktur pemerintahannya. “Meski pengawasan dipisahkan, PBC sangat kuat. Koordinasinya juga sangat bagus. Seolah Commission of Banking Republic China (CBRC) itu di bawah PBC,” kata Budi.  
Seperti apa model pengawasan dan penerapan OJK di negara-negara tersebut? Di Prancis pengawasan lembaga keuangan dilakukan The Banking Commission, badan yang bersifat kolegial. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup besar untuk melakukan pengaturan, pengawasan, dan investigasi serta tindakan sanksi atau hukum. Di Prancis pelaksana keputusan dan pelaksanaan pengawasan lembaga keuangan sehari-hari dilakukan The General Secretariat and Staff atau disebut Secretariat General de la Commission’s Bancaire (SGCB). Tugas SGCB tersebut dilakukan secara on and off-site supervision untuk memastikan lembaga keuangan beroperasi secara aman dan sehat. Meski pengawasannya dipisahkan, ada koordinasi yang terbentuk dengan adanya kerja sama yang erat antara SGCB dan otoritas terkait, yaitu otoritas perbankan.
Dalam PesatNews Seorang Pengamat ekonomi politik The Institute for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, mengungkapkan pasca reformasi berbagai institusi lahir untuk mempreteli Bank Indonesia (BI). Salah satunya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Fungsi BI dipreteli, menjadi kewenangan OJK. Lembaga ini akan ditugaskan untuk melegalisasi seluruh praktek liberalisasi keuangan yang membahayakan. OJK harus dibubarkan dengan alas an,” tegas Salamuddin Daeng.
Menurutnya, OJK adalah proyek IMF melalui Letter Of Intent (LOI) 2001 dalam rangka liberalisasi penuh sektor keuangan. “IMF tidak cukup puas dengan meliberalisasi BI, sehingga dibuatlah lembaga superbody agar modal internasional dapat mengontrol penuh sektor keuangan Indonesia,” ungkap Daeng. Selain itu pula, Daeng menambahkan “Tujuannya adalah untuk memecah, mengebiri Bank Indonesia (BI). Dengan demikian BI tidak lagi memiliki kontrol terhadap Bank dan lembaga keuangan,”
OJK mulai bekerja tahun 2013 dan penerapan pengawasannya mulai tahun 2014, maka secara penuh akan mengawasi hampir semua sektor jasa keuangan, pasar modal, asuransi, finance, perbankan, dana pensiun, pegadaian dan lembaga keuangan yang lain. Tinggal kita lihat nantinya, apakah OJK mampu bertahan sebagai lembaga negara yang mengurusi industri keuangan, seperti Cina dan Prancis, atau akan menyusul gulung tikar seperti pionirnya, Inggris. Siapa tahu ?
Disadur dari beberapa sumber

Minggu, 13 Oktober 2013

Dimensi-Dimensi Etika Bisnis Syariah


Part 1. Etika diri sendiri

Skill => perbedaan keterampilan dan keahlian ini termaktub dalam al Qur’an “ Adakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan. (Qs. Az Zumar : 39)” dan dalam hadits “ apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (HR. Bukhari)”.

Taqwa => Ketaqwaan seseorang termaktub dalam al Qur’an “ Barang siapa yang bertaqwa kepada allah, niscaya Allah akan mengadakan jalan keluar baginya dari jalan yang tidak disangka-sangka. (Qs. At Thalaq : 2-3)”.

Kejujuran => dalam sebuah hadits tentang keutamaan kejujuran “ sesungguhnya kebenaran membawa ketenangan dan kedustaan menimbulkan keragauan. (HR. Tirmidzi)” dan dalam hadis lainnya “ Penjual dan pembeli keduanya bebas memilih selagi keduanya belum terpisah. Maka jika ia jujur dan jelas keduanya, diberkahilah jual-beli itu. Tetapi jika menyembunyikan cacat dan dusta, maka terhapuskanlah keberkahan jual beli itu. (HR. Bukhari Muslim)”.

Niat Suci => dalam sebuah hadits “Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan itu tergantung pada niat. Dan sesungguhnya bagi setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkan. (HR. Bukhari Muslim)”.

Azam => termaktub dalam sebuah ayat “Maka hendaklah engkau bersabar seperti sabarnya para rasul yang memilki kemauan keras. (Qs. Al Ahqaf : 35)”.

Istiqomah => maka hendaklah engkau istiqamah sebagaimana diperintahkan kepadamu. (Qs. Asy Syura : 15) dan dalam hadits “ katakanlah: saya beriman kepada Allah” kemudian beristiqomahlah. (HR. Ahmad).

Tawakkal => “ Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan keperluannya. (Qs. Ath Thalaq : 3” dan dalam hadits “ Andaikata kalian bertawakal kepada allah dengan bersungguh-sungguh, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rizki kepada kalian. Burung, keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali disenja hari dengan perut kenyang. (HR. Ahmad, Tirmidzi dalam Al Musnad).

Bangkitlah Lebih Pagi => “ Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi ummatku (atas usaha yang dilakukan) pada pagi hari. (HR. Tirmidzi) dan dalam hadits lain “ Apabila mengirim pasukan atau tentara, Nabi SAW mengirim pada pagi hari. Dan Sakhr seorang pedagang, apabila dia mengirim dagangannya dilakukan pada pagi hari, lalu ia menjadi kaya dan menjadi banyak. (HR. Tirmidzi).

Dzikrullah =>  keutamaan orang yang berdzikir tersurat dalam Qur’an “Hai orang-orang yang beriman ! janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Qs. Al Munafiqun : 9). Dan dalam sebuah hadits “Rasulullah selalu menyebut Allah dalam segala keadaan. (HR. Muslim).

Toleransi => “Allah mengasihi orang-orang yang longgar apabila menjual dan apabila membeli dan jika kalian menagih hutang. (HR. Bukhari). Dan dalam hadits lain “ Timbanglah dan condongkanlah berat badan (dalam neraca timbangan). (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Zakat dan Infaq => “ Tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli mengingat Allah, dari mendirikan sholat dan dari membayarkan zakat. (Qs. An Nur : 37). “ adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertaqwalah, dan membenarkan adanya pahala yang baik, maka kami akan menyiapkan kepadanya jalan yang mudah. (Qs. Al Lail : 5-7). “ katakanlah: sesungguhnya Rabb melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya) dan barang apa saja yang kalian nafkahkan, maka Allah akan mengantikannya, dan Dialah pemberi rizki yang sebaik-baiknya. (Qs. As Saba’ : 39).

Qanaah (merasa cukup atas karunia yang diberikan) => bukannya kekayaan itu karena banyaknya harta benda. Tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa. (HR. Bukhari Muslim).

Silaturahim => siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya maka hendaklah dia mempererat silaturahim. (HR. Bukhari). Dalam silaturahim dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti : saling mengunjungi (salam, sapa, santun), saling mendoakan (diminta ataupun tidak), saling membantu dengan fisik (gotong-royong), saling membantu dengan harta ( memberdayakan dengan amal usahanya, membayarkan hutangnya, mengeluarkannya dari jeratan riba/ rentenir).

Sarana Fisik Material => (Qs. Al Isra :84)