Jumat, 29 November 2013

Permasalahan Wakaf Tanah Di Indonesia


             Latar Belakang
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam dan menempati ranking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Negara Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam.
Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakaf di akherat. Sedangkandalam fungsi sosial wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan.
Munculnya penyimpangan pada pengelolaan wakaf akan menjadikan suatu masalah serius dalam dinamika kehidupan beragama di negara Indonesia apabila penyelesaian atas masalah tersebut tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.

             Praktik perwakafan tanah di Indonesia

Dalam undang-undang RI tentang wakaf diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunanpembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orangorang yang menggarapnya.
Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf.Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif. Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali.
Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir.

Solusi
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya disebutkan dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah.
Selain daripada itu, tugas BWI sebagai lembaga tertinggi dalam hal perwakafan harus lebih aktif lagi membina para nadzir dalam hal penerimaan dan pengelolaan harta wakaf. Karena sangketa yang terjadi dalam wakaf tanah ini karena kurang profesionalnya nadzir dalam menerima tanah wakaf saat akad wakaf terjadi. Seharusnya ketika ada wakif yang akan mewakafkan sebidang tanah, nadzir harus memberikan fasilitas notaris apabila tanah tersebut belum mempunyai akta atau sertifikat tanah. Nadzir juga harus memberikan sertifikat wakaf yang dikeluarkan oleh BWI sebagai bukti yang menjelaskan apasaja akad yang tertuang dalam wakaf tersebut, apakah akad wakaf tanah untuk selamanya atau hanya untuk jangka waktu tertentu. Sehingga tidak akan terjadi sangketa antara ahli waris wakif dan nadzir karena telah memiliki bukti akad wakaf yang sah dan dikuatkan secara hukum. Yang tidak kalah penting adalah adanya para saksi ketika akad wakaf terjadi.
            Kesimpulan
Permasalahan wakaf tanah di Indonesia sering kali terjadi, karena selain praktiknya masih menggunakan cara agamis, juga masih minimnya nadzir yang profesional dalam hal mengelola harta wakaf. Padahal dalam undang-undang menyebutkan bahwa hak nadzir adalah 10% atas pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Hal ini merupakan potensi seperti halnya profesi amil yang mendapatkan 12,5% atas harta penerimaan zakat
Permasalahan sangketa tanah di Indonesia sudah seharusnya tidak terjadi lagi. BWI harus dapat meningkatkan perannya  sebagai badan wakaf yang paling bertanggung jawab atas segala permasalahan wakaf yang ada, tentu saja pemerintah juga bertanggung jawab sebagai regulator atas undang-undang wakaf.
Nadzir saat ini harus menjalankan tugasnya sebagai pengelola harta wakaf secara profesional, tidak hanya dikerjakan secara agamis tapi juga bisa mengikuti perkembangan zaman dalam hal pengelolaan.


      Daftar Pustaka
Ismawati. 2007. Penyelesaian Sangketa Tanah Wakaf, StudiTerhadaf Tanah Wakaf Banda Masjid Agung Semarang. Semarang : Tesis UNDIP.
Musthofa, Hidayatul. Sangketa Wakaf Tanah, Makalah Fakultas Syariah. lantaburnet.blogspot.com Diakses pada 22 November 2013.
UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf