Rabu, 05 Juni 2013

Aku ingin seperti Rabiah al Adawiyah

Akhir Mei 2013
Bulan ini aku kembali berulang tahun, bukan lagi ulang tahun untuk usia remajaku, namun lebih pantas disebut ulang tahun ibu-ibu, begitulah teman-temanku menyebutnya. Bagiku ulang tahun bukan hal yang istimewa, karena hari-hariku masih penuh dengan rutinitas yang selalu menyibukkanku. Walau ini ulang tahun yang merubah statusku menjadi orang berkepala tiga, aku masih tetap sendiri, belum ada pangeran yang mengisi hari-hari dalam hidupku. Kesibukanku sebagai guru disebuah madrasah diniyah membuatku merasa tidak kesepian, walau sebenarnya aku ingin segara menyempurnakan separuh agamaku. Pagi ini aku tidak ada jadwal untuk mengajar, membuatku enggan untuk meninggalkan kamar, seperti biasa setelah sholat subuh dan membaca dzikir matsurat, ku sempatkan untuk membaca novel, sebuah hobi yang mengasikkan bagiku. Ku ambil sebuah novel karya Habiburahman El Shirazy dari rak bukuku. Hemm..andaikan aku seperti Zahrana, gumamku, berharap memiliki nasib yang sama seperti tokoh pada cerita novel yang kubaca, sudah tiga kali aku menamatkan membaca novel ini, sebuah novel yang menceritakan seorang wanita yang hingga berumur kepala tiga belum juga menemukan jodohnya. Bukan tidak ada yang mau, melainkan belum ada yang dirasa cocok, berbagai macam cobaan dilalui oleh tokoh dalam novel ini, hingga akhirnya happy ending mendapatkan jodoh bekas muridnya sendiri.

 Tut..tut..tut.. tiba-tiba handphoneku berbunyi “assalamualaikum mbak Raysa” suara seorang wanita diseberang sana “waalaikumsalam” jawabku singkat “mbak ada di rumah kan? Aku mau main ke rumah mbak, sekarang.” sambung suara diseberang. Tut..tutt..suara telepon ditutup. Ihh..kebiasaan nih si Ahdah setiap nelpon pasti cuma sebentar dan asal nutup telepon gumamku sedikit kesal atas tingkah temanku. Ahdah teman akrabku, dia juga seorang pengajar di madrasah diniyah tempatku mengajar. Moodku membaca jadi hilang gara-gara ada telepon kilat yang menganggu. Sambil menunggu Ahdah datang akhirnya ku sempatkan untuk beres-beres kamar yang berantakan akibat semalam habis mengoreksi tugas anak-anak di sekolah. Setelah semua kuanggap beres aku duduk ditepi kasur lantaiku.

Tiba-tiba aku teringat pertanyaan bapakku beberapa waktu lalu. “Kamu mau nikah kapan Nduk?” Tanya bapakku saat itu. “Nanti pak kalau udah ada yang cocok” jawabku. “Lha..memang yang kamu anggap cocok itu seperti apa, selama ini yang datang ke rumah untuk serius sama kamu itu udah banyak, tapi kamu bilang belum cocok terus!” sambung bapakku seperti tidak mau mengalah. “Bapak sabar ya..Nanti kalau Raysa udah menemukan yang cocok, Raysa akan segera menikah.” Dengan sabar ku jawab pertanyaan beliau. “ ya sudah, jangan ditunda-tunda lagi.. kalau sudah ada yang cocok, segera nikah, ibu sudah pengen gendong cucu.” Sambung ibuku yang duduk disamping bapak. Itulah pertanyaan mereka setiap aku sempatkan pulang ke rumah, karena selama ini aku tinggal dalam komplek yayasan madrasah diniyah tempat aku mengajar. Selama ini aku merasa belum cocok dengan orang yang datang dengan maksud melamarku. Pernah suatu kali aku sudah merasa cocok, tapi teryata harus kandas karena tenyata memang Allah belum mengizinkan. Hemhh..ya Allah segera datangkan jodoh yang tepat untukku, desahku setiap ingat pertanyaan bapak yang menyinggungku untuk segera menikah. Tokk..tokk..tokk.. suara pintu diketuk. “Assalamualaikum Mbak.” Suara di balik pintu. “Walaikumsalam, masuk Dah, nggak dikunci pintunya” sahutku, karena ku tahu pasti itu Ahdah yang tadi bilang mau datang. “ Mbak ada undangan nikahannya Hanifah nih, minggu depan.” Kata Ahdah sambil menyodorkan kertas undangan kepadaku. “Sama siapa dia nikah.” tanyaku singkat. “Itu sam Rio temen sekelasnya dulu di kampus.” Jawab Ahdah “Oh ya Mbak..aku nggak bisa lama-lama ya, niatnya tadi mau main lama, tapi ibu pesen suruh belanja di pasar, jadi ya buru-buru, pulang ya mbak, assalamualaikum.” Sambung Ahdah. “ya udah nggak papa, walaikumsalam, ati-ati dijalan Dah” Jawabku “Iya mbak” sahutnya sambil ngeloyor pergi. Undangan lagi, undangan lagi, desahku kecil. Ini adalah undangan keduaku dibulan ini untuk menghadiri pernikahan temanku, malahan dua minggu yang lalu datang undangan pernikahan dari mantan muridku sendiri. Ku letakkan surat undangannya dan segera ku ambil wudhu untuk shalat duha karena memang hari sudah beranjak siang.

Juni 2013
Udara diluar terasa dingin, karena dari kemaren sore hujan mengguyur deras, sampai siang ini pun diluar masih rintik-rintik gerimis. Hari ini jadwal mengajarku penuh dari pagi hingga siang hari,padahal diakhir pekan, sungguh melelahkan dan rencananya sore nanti aku akan menghadiri undangan pernikahan Hanifah yang disampaikan Ahdah minggu lalu. Ku ambil handphoneku untuk melihat jam disana, ternyata ada satu SMS masuk yang belum sempat ku baca. 
“Nduk besok bisa pulang ya.., ada ikhwan yang mau datang kerumah untuk ta’aruf denganmu” bunyi SMS dari bapakku. Hahh..? ikhwan, pikiranku segera berputar untuk mengartikan kata tersebut, karena selama ini bapak tidak pernah mengirim pesan dengan menggunakan kata ikhwan, biasanya beliau hanya mengatakan ada orang akan datang kerumah, disetiap memberikahuku, jika ada orang yang berniat meminangku. Mungkin yang datang kali ini ustadz kali ya, hehe..pikirku singkat menyimpulkan kata ikhwan dalam pesan singkat dari bapak. “Insya Allah pak, besok pagi Raysa memang berencana untuk pulang” balasku singkat. Pagi ini dengan mengendarai motor matikku aku berangkat pulang kerumah yang berjarak sekitar dua jam dari yayasan madrasah tempatku mengajar selama ini. Tapi karena aku berniat untuk berbelanja, akhirnya aku mampir terlebih dahulu kepasar beli keperluan dan buah untuk dihidangkan kepada tamu yang akan datang nanti. Tidak terasa hampir tiga jam aku berputar-putar dipasar belanja ini itu, maklum bulan muda habis gajian.hehe.. setelah semua dirasa cukup, kuputuskan untuk pulang. 

Sesampainya didepan rumah, kulihat sebuah mobil jenis APV terparkir. Akhirnya aku masuk lewat pintu belakang dan kulihat bapak sedang ngobrol dengan tamu diruang depan. “Tamunya sudah datang to Bu?” tanyaku pada ibu yang sedang mengaduk the untuk tamu. “Belum lama Nduk, udah kamu siap-siap buat nemenin bapakmu didepan” jawab ibu “Iya bu, ini sekalian dibawa Bu..buah yang Raysa beli” sambungku. Segera aku masuk kamar untuk sedikit berdandan agar tidak terlihat kumal karena habis perjalanan jauh. Ku kenakan jilbab biru muda kesayanganku, dan segera ku temui tamu didepan karena memang bapak juga sudah terdengar memanggil. “Gimana Nduk pendapatmu?” Tanya bapak setelah aku diperkenalkan dengan tamu yang datang dan sedikit diceritakan kisah hidupnya. 
Akhirnya aku menemukan arti kata yang bapak maksud pada pesan singkatnya kemari. Namanya Ahmad Rifa’I, seorang dai muda yang cukup dikenal di daerah tempat aku tinggal, dai muda yang lumayan ganteng dan enerjik dalam menyampaikan dakwah-dakwah tentang keislaman, punya mobil pribadi, sudah punya rumah sendiri, dengan segala kelebihan yang ada padanya, sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak, tapi tunggu dulu … ternyata dai ini telah memiliki seorang istri yang dinikahinya dua tahun yang lalu, namun belum dikaruniai anak. Dengan alasan ingin mengamalkan sunah rasul untuk beristri lebih dari satu, dia berniat meminangku dan menjadikanku istri keduanya, yang berarti aku adalah madu dari istri pertamanya. Walaupun dia mengatakan telah mendapat izin dari istri pertamanya. Dan aku sebagai wanita tahu, istri pertamanya mengizinkan suaminya untuk menikah lagi, karena merasa tidak bisa memberi anak, bukan karena benar-benar tulus ingin dimadu, karena istri manapun pasti cemburu jika melihat suaminya dekat dengan wanita lain. 

Duhh ya Rabb..kenapa kau berikan cobaan lagi untukku, kau datangkan orang yang telah memiliki istri untuk menjadi calon suamiku. Walaupun dia tahu akan hal agama, namun aku tak rela mempunyai suami yang memaduku, yang membagi kasih sayangnya untuk istri-istrinya yang lain, bukan hanya untukku. “Maaf pak aku tak bisa, aku tak rela menjadi madu” jawabku tegas. “Sebenarnya, mau kamu yang seperti apa Nduk !” hardik bapakku, ini kali pertama beliau terlihat marah karena aku menolak setiap lamaran orang yang datang ke rumahku. “Dicariin orang tua selalu ditolak ! disuruh nyari sendiri nggak becus, bapak malu banyak orang yang menganggap bapak orang yang gagal karena anak gadisnya jadi perawan tua..!” sambung bapak memarahiku. Aku hanya bisa menangis dan lari kekamar mengunci pintuku rapat-rapat. Masih sedikit kudengar tamu didapan pamit kepada bapak. “Sekarang terserah kamu Nduk mau nikah atau tidak, bapak udah capek!” suara bapak didepan pintu kamarku dan kemudian pergi. “sabar ya nduk, bapakmu lagi emosi, wiss..kamu yang tabah.” Hibur ibuku dari balik pintu. 

Sampai malam aku tetap dalam kamar, dan hanya keluar untuk mengambil wudhu, bujukan ibu untuk makan aku abaikan, karena semua terasa tidak enak bagiku. Air mataku kembali meleleh mengingat peristiwa tadi siang, karena baru sekali ini aku melihat bapak marah kepadaku, karena aku selalu menolak setiap calon yang diajukan kepadaku. Aku menolak bukan tanpa alasan, seingatku bapak telah delapan kali mengajukan calon kepadaku, antara lain: yang pertama Anto seorang asisten manajer suatu Bank besar yang mempunyai penghasilan tetap dan cukup besar, aku menolak karena aku tidak mau dinafkahi suami yang kerja di Bank dengan mendapat gaji dari bunga-bunga Bank yang dibebankan kepada nasabah. Aku tidak mau dalam tubuhku mengalir darah makanan dari hasil riba. Kemudian Jaka seorang pegawai negri yang telah hidup mapan, namun aku menolaknya karena menurut temanku dia sering gonta-ganti pacar. Dan masih banyak lagi calon yang diajukan bapak dan selalu ku tolak dengan alasan yang selalu beliau terima, sampai yang terakhir datang, Ahmad Rifa’I seorang dai yang kutolak dengan alasan aku tak ingin dimadu. 

Ya Rabb apakah aku salah menolak setiap calon yang datang kepadaku? Apakah aku salah jika aku mengharap jodoh yang benar-benar ada dijalan-Mu tanpa ada pihak yang merasa sakit diduakan?. Doa panjangku dalam sujud tahajud. Aku teringat seorang ahli sufi Rabiah al Adawiyah, seorang wanita yang agung, hamba Allah yang menghabiskan waktu hidupnya untuk menyembah dan bersujud kepada-Mu, tanpa harus berhadapan dengan urusan remeh-temeh masalah jodoh. Aku memang merindukan seorang suami untuk menyempurnakan separuh dari agamaku, tapi aku juga ingin jodoh itu sebagai rahmat bagiku bukan musibah yang membawaku kedalam api neraka. 
Aku ingin agamaku sempurna seperti Rabiah al Adawiyah yang menghabiskan waktu untuk beribadah dan menyembah kebesaran-Mu. Malam ini ku azzamkan diriku sebagai hamba-Mu untuk menjadi seperti Rabiah al Adawiyah. Pagi harinya aku meminta maaf kepada bapak dan pamit untuk kembali ke yayasan tempat aku mengajar, beliau tampak acuh dan tidak peduli, setelah mengucapkan salam dan mencium tangan kedua orang tuaku, mereka mengantarku sampai depan rumah, aku segera menuju motorku dan menstarter, ketika belok dari halaman rumah, aku lupa tidak tengok kanan kiri saat masuk ke jalan. Tiba-tiba bayangan hitam berkelebat dan BRakkkk….menghantam motorku, mataku terasa kunang-kunang, masih sedikit ku dengar suara teriakan orang tuaku,” Nduk….!!” Semua terasa putih, aku masih sempat tersenyum, mungkin ini nafas terakhirku, dan aku merasa seperti Rabiah yang tak memiliki seorang suami sampai nafas terakhir berhembus.

Yogyakarta, 03 Juni 2013, 
di bawah naungan gerimis