Rabu, 06 November 2013

Etika Bisnis Perbankan Syariah

Fenomena yang menjadi latak belakang pentingnya pembicaraan, pembahasan dan kesepakatan tentang etika dalam sebuah bisnis perbankan syariah:

1. Adanya pihak yang dirugikan karena perilaku pihak lain, contoh: Bank : Nasabah, Pemilik : Pengelola.
2. perkembangan praktek bisnis perbankan bisa cenderung berakibat kepada hal yang tidak diinginkan
    contoh : Orientasi bisnis, pola kerja.

Perbuatan moral diartikan sebagai perbuatan baik dan buruk dalam kegiatan bisnis perbankan dan secara umum, etika merupakan dasar moral yang menyentuh aspek individu dan peraturan sosial. 
Pola kehidupan masyarakat/organisasi:
1. Saling mewujudkan kepentingan : tujuan dan kondisi
2. Saling melindungi dari bahaya : keamanan, kerukunan.

Tujuan pokok mengenal etika bisnis perbankan syariah:
mempengaruhi dan mendorong kehendak setiap individu supaya mengarah kepada pemahaman teori dan kegiatan operasinal bank yang baik, benar dan bermanfaat luas sesuai ketentuan syariah dan peraturan yang berlaku.
Keputusan rasional sebuah bank syariah selaras dengan kaidah syariah dan hukum yang berlaku, umumnya didasarkan pada rangkaian keputusan yang dibuat perusahaan/bank syariah yang dipandu oleh:
1. Peraturan Intern
2. UU Perbankan
3. Asosiasi
4. Kebiasaan, falsafah, budaya dan etika bisnis.

Kode Etik diperlukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan antara :
1. Idealisme bankir syariah
2. tuntutan pemilik/ pemegang saham.
kode etik dipandang mampu melindungi kepentingan berbagai pihak dalam menjalankan bisnis perbankan syariah apabila dibuat dan ditaati bersama


Kontroversi Seputar Otoritas Jasa Keuangan



Menurut UU No 21 tahun 2011 Bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan OJK “adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi. Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya.
Keberadaan OJK dirasa penting untuk menguatkan ketahanan jasa keuangan di Indonesia. Sehingga nanti akan ada sistem pengawasan keuangan terintegrasi. Ada pengawas bank, pasar modal, asuransi dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar bisa saling mensinergi dan melengkapi celah-celah kelemahan di masing-masing sektor. Gonthor R. Aziz memaparkan, sebelum tahun 2006 pengawasan jasa keuangan dilakukan oleh tiga lembaga, misalnya pasar modal dilakukan Bapepam, sektor industri keuangan (asuransi, finance dll) lembaga pengawas keuangan. Sedangkan perbankan diawasi oleh Bank Indonesia..
Wacana pembentukan OJK di Indonesia dicetuskan pascaterjadinya krisis 1998. Saat itu tren memisahkan fungsi pengawasan begitu gencar didengungkan di dunia internasional. Di beberapa negara isu ini bahkan sudah santer sejak 1990-an bersamaan dengan euphoria of central bank independence. Pada umumnya, pengawasan perbankan di dunia saat ini berkembang menjadi tiga model.
Pertama, pengawasan menyatu di bank sentral, seperti yang saat ini dilakukan Bank Indonesia (BI). Kedua, pengawasan dilakukan secara terpisah dari bank sentral atau diselenggerakan oleh badan otoritas jasa keuangan, seperti di Korea Selatan.Ketiga, seperti yang digunakan di Jepang. Bank sentral di Jepang, Bank of Japan, masih memiliki kewenangan untuk mengakses informasi dan mengawasi lembaga keuangan dan perbankan, meskipun di negara itu juga terdapat Financial Services Agency (FSA) yang berperan sebagai OJK.
Beberapa negara yang mengimplementasikan OJK ada yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal. Seperti dikutip di sebuah media, beberapa ahli perbankan melakukan analisis. Hasilnya, dari 24 negara, mereka menemukan bahwa kasus kegagalan bank justru lebih sedikit terjadi di negara yang fungsi pengawasannya tetap berada di bawah bank sentral. Fakta inilah yang kemudian menimbulkan keraguan di Indonesia yang baru akan mengalihkan fungsi pengawasannya menjadi satu di OJK. Menurut Deputi Gubernur BI, S. Budi Rochadi, gagalnya Financial Supervision Services (FSS) di Korea Selatan disebabkan tidak adanya koordinasi data antara bank sentral dan FSS. Masalah serupa juga dialami FSA di Inggris. “Masalahnya sama seperti di Korea Selatan, tidak ada koordinasi data. Ketika Northern Rock kesulitan likuiditas, bank sentralnya tidak tahu,” ujar Budi. 
Jika mau mengambil contoh yang sukses, yaitu yang terjadi di Jepang, Cina, dan Prancis. “Kesamaannya karena adanya koordinasi data tadi,” kata Budi. Di Prancis bank sentralnya masih bisa mengakses data sehari-hari, meski fungsi pengawasan juga dipisahkan. Sementara, di Cina, bank sentral (People Bank of China atau PBC) sangat kuat dalam struktur pemerintahannya. “Meski pengawasan dipisahkan, PBC sangat kuat. Koordinasinya juga sangat bagus. Seolah Commission of Banking Republic China (CBRC) itu di bawah PBC,” kata Budi.  
Seperti apa model pengawasan dan penerapan OJK di negara-negara tersebut? Di Prancis pengawasan lembaga keuangan dilakukan The Banking Commission, badan yang bersifat kolegial. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup besar untuk melakukan pengaturan, pengawasan, dan investigasi serta tindakan sanksi atau hukum. Di Prancis pelaksana keputusan dan pelaksanaan pengawasan lembaga keuangan sehari-hari dilakukan The General Secretariat and Staff atau disebut Secretariat General de la Commission’s Bancaire (SGCB). Tugas SGCB tersebut dilakukan secara on and off-site supervision untuk memastikan lembaga keuangan beroperasi secara aman dan sehat. Meski pengawasannya dipisahkan, ada koordinasi yang terbentuk dengan adanya kerja sama yang erat antara SGCB dan otoritas terkait, yaitu otoritas perbankan.
Dalam PesatNews Seorang Pengamat ekonomi politik The Institute for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, mengungkapkan pasca reformasi berbagai institusi lahir untuk mempreteli Bank Indonesia (BI). Salah satunya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Fungsi BI dipreteli, menjadi kewenangan OJK. Lembaga ini akan ditugaskan untuk melegalisasi seluruh praktek liberalisasi keuangan yang membahayakan. OJK harus dibubarkan dengan alas an,” tegas Salamuddin Daeng.
Menurutnya, OJK adalah proyek IMF melalui Letter Of Intent (LOI) 2001 dalam rangka liberalisasi penuh sektor keuangan. “IMF tidak cukup puas dengan meliberalisasi BI, sehingga dibuatlah lembaga superbody agar modal internasional dapat mengontrol penuh sektor keuangan Indonesia,” ungkap Daeng. Selain itu pula, Daeng menambahkan “Tujuannya adalah untuk memecah, mengebiri Bank Indonesia (BI). Dengan demikian BI tidak lagi memiliki kontrol terhadap Bank dan lembaga keuangan,”
OJK mulai bekerja tahun 2013 dan penerapan pengawasannya mulai tahun 2014, maka secara penuh akan mengawasi hampir semua sektor jasa keuangan, pasar modal, asuransi, finance, perbankan, dana pensiun, pegadaian dan lembaga keuangan yang lain. Tinggal kita lihat nantinya, apakah OJK mampu bertahan sebagai lembaga negara yang mengurusi industri keuangan, seperti Cina dan Prancis, atau akan menyusul gulung tikar seperti pionirnya, Inggris. Siapa tahu ?
Disadur dari beberapa sumber