Menurut
UU No 21 tahun 2011 Bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan OJK “adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Pada dasarnya UU mengenai OJK
hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan
dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor
jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme
koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam
sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem
keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi. Tujuan
dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman
krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor
perbankan dan keuangan lainnya.
Keberadaan
OJK dirasa penting untuk menguatkan ketahanan jasa keuangan di Indonesia.
Sehingga nanti akan ada sistem pengawasan keuangan terintegrasi. Ada pengawas
bank, pasar modal, asuransi dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar bisa
saling mensinergi dan melengkapi celah-celah kelemahan di masing-masing sektor.
Gonthor R. Aziz memaparkan, sebelum tahun 2006 pengawasan jasa keuangan
dilakukan oleh tiga lembaga, misalnya pasar modal dilakukan Bapepam, sektor
industri keuangan (asuransi, finance dll) lembaga pengawas keuangan. Sedangkan
perbankan diawasi oleh Bank Indonesia..
Wacana
pembentukan OJK di Indonesia dicetuskan pascaterjadinya krisis 1998. Saat itu
tren memisahkan fungsi pengawasan begitu gencar didengungkan di dunia
internasional. Di beberapa negara isu ini bahkan sudah santer sejak 1990-an
bersamaan dengan euphoria of central bank independence.
Pada umumnya, pengawasan perbankan di dunia saat ini berkembang menjadi tiga
model.
Pertama,
pengawasan menyatu di bank sentral, seperti yang saat ini dilakukan Bank
Indonesia (BI). Kedua, pengawasan dilakukan secara terpisah dari bank sentral
atau diselenggerakan oleh badan otoritas jasa keuangan, seperti di Korea
Selatan.Ketiga, seperti yang digunakan di Jepang. Bank sentral di Jepang, Bank
of Japan, masih memiliki kewenangan untuk mengakses informasi dan mengawasi
lembaga keuangan dan perbankan, meskipun di negara itu juga terdapat Financial
Services Agency (FSA) yang berperan sebagai OJK.
Beberapa
negara yang mengimplementasikan OJK ada yang berhasil dan tidak sedikit pula
yang gagal. Seperti dikutip di sebuah media, beberapa ahli perbankan melakukan
analisis. Hasilnya, dari 24 negara, mereka menemukan bahwa kasus kegagalan bank
justru lebih sedikit terjadi di negara yang fungsi pengawasannya tetap berada
di bawah bank sentral. Fakta inilah yang kemudian menimbulkan keraguan di
Indonesia yang baru akan mengalihkan fungsi pengawasannya menjadi satu di OJK. Menurut
Deputi Gubernur BI, S. Budi Rochadi, gagalnya Financial Supervision Services
(FSS) di Korea Selatan disebabkan tidak adanya koordinasi data antara bank
sentral dan FSS. Masalah serupa juga dialami FSA di Inggris. “Masalahnya sama
seperti di Korea Selatan, tidak ada koordinasi data. Ketika Northern Rock kesulitan
likuiditas, bank sentralnya tidak tahu,” ujar Budi.
Jika mau
mengambil contoh yang sukses, yaitu yang terjadi di Jepang, Cina, dan Prancis.
“Kesamaannya karena adanya koordinasi data tadi,” kata Budi. Di Prancis bank
sentralnya masih bisa mengakses data sehari-hari, meski fungsi pengawasan juga
dipisahkan. Sementara, di Cina, bank sentral (People Bank of China atau PBC)
sangat kuat dalam struktur pemerintahannya. “Meski pengawasan dipisahkan, PBC
sangat kuat. Koordinasinya juga sangat bagus. Seolah Commission of Banking
Republic China (CBRC) itu di bawah PBC,” kata Budi.
Seperti
apa model pengawasan dan penerapan OJK di negara-negara tersebut? Di Prancis
pengawasan lembaga keuangan dilakukan The Banking Commission, badan yang
bersifat kolegial. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup besar untuk
melakukan pengaturan, pengawasan, dan investigasi serta tindakan sanksi atau
hukum. Di Prancis pelaksana keputusan dan pelaksanaan pengawasan lembaga
keuangan sehari-hari dilakukan The General Secretariat and Staff atau
disebut Secretariat
General de la Commission’s Bancaire (SGCB). Tugas SGCB tersebut
dilakukan secara on and off-site supervision untuk
memastikan lembaga keuangan beroperasi secara aman dan sehat. Meski
pengawasannya dipisahkan, ada koordinasi yang terbentuk dengan adanya kerja
sama yang erat antara SGCB dan otoritas terkait, yaitu otoritas perbankan.
Dalam PesatNews Seorang Pengamat ekonomi politik The
Institute for Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, mengungkapkan pasca
reformasi berbagai institusi lahir untuk mempreteli Bank Indonesia (BI). Salah
satunya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Fungsi BI dipreteli, menjadi kewenangan OJK.
Lembaga ini akan ditugaskan untuk melegalisasi seluruh praktek liberalisasi
keuangan yang membahayakan. OJK harus dibubarkan dengan alas an,” tegas
Salamuddin Daeng.
Menurutnya,
OJK adalah proyek IMF melalui Letter Of Intent (LOI) 2001 dalam rangka
liberalisasi penuh sektor keuangan. “IMF tidak cukup puas dengan meliberalisasi
BI, sehingga dibuatlah lembaga superbody agar modal internasional dapat
mengontrol penuh sektor keuangan Indonesia,” ungkap Daeng. Selain itu pula,
Daeng menambahkan “Tujuannya adalah untuk memecah, mengebiri Bank Indonesia
(BI). Dengan demikian BI tidak lagi memiliki kontrol terhadap Bank dan lembaga
keuangan,”
OJK
mulai bekerja tahun 2013 dan penerapan pengawasannya mulai tahun 2014, maka
secara penuh akan mengawasi hampir semua sektor jasa keuangan, pasar modal,
asuransi, finance, perbankan, dana pensiun, pegadaian dan lembaga keuangan yang
lain. Tinggal kita lihat nantinya, apakah OJK mampu bertahan sebagai lembaga
negara yang mengurusi industri keuangan, seperti Cina dan Prancis, atau akan
menyusul gulung tikar seperti pionirnya, Inggris. Siapa tahu ?
Disadur
dari beberapa sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar