Selasa, 25 Juni 2013

Persaudaraan Gembel

Gludukk... Gludukk... Blarrrrr....
Suara petir semakin membuat suasana mencekam, langit seperti ingin menumpahkan semua isinya lewat rintikan hujan. Aku masih berkumpul bersama teman-temanku. Muka kumal dan pucat menghiasi wajah mereka, aku tidak heran, sejak pagi kami telah banyak bekerja mengikuti kemauan bang Andreas, Boss dari perkumpulan gembel-gembel tempatku berada. Aku merasa paling menderita diantara teman-temanku. Posturku yang kecil ini diharuskan mengemis, mengumpulkan recehan dari orang-orang yang iba melihatku. 
Aku merasa jadi orang paling apes di dunia ini, terlahir dari keluarga miskin di desa yang kekurangan makan, membuatku harus kabur ke kota, melarikan diri dari jeratan kelaparan, tapi apa? tenyata sampai kota ini aku tetap kelaparan, bahkan menjadi sampah masyarakat. Pernah ingin ku melamar pekerjaan untuk sekedar mengisi hari-hariku, tetap saja tidak ada yang mau menerima sampah sepertiku, yang sama sekali tidak punya gelar pendidikan, jangankan gelar sarjana, SD saja aku tak pernah merasakan, “aghhh,,,bedebah dengan pendidikan.” Hatiku marah. Sekarang aku masuk kedalam kandang gembel-gembel yang juga mengadu nasib di kota ini.
Disini, disebuah gedung tua yang tak terpakai lagi, aku menghabiskan hari-hariku, profesiku sebagai pengemis bukanlah mauku sepenuhnya. Bang Andreas sebagai boss di tempat ini mempunyai wewenang penuh mengatur profesi kami para gembel. Sebenarnya dulu aku memilih sebagai pengamen yang sedikit memiliki martabat, namun bang Andreas menolak mentah-mentah harapanku, dia bilang mukaku cocok sebagai pengemis. Karena dengan menjadi pengemis aku akan banyak menghasilkan uang ujarnya. Anjritt..!! gumamku saat itu.
“Ayo...ayo..ayo..siapkan alat-alat kalian buat kerja.” Suara bang Andreas membuyarkan lamunanku.
“Ayo nunggu apa lagi? Cepat bubar !!.” tambahnya lagi.
"Cung..!! berangkat loe.?"Sapa Bang Andreas 
"kemana?" Jawabku singkat
"Cari uanglah, dodol..!" Tukas Bang Andreas ketus.
Tak terasa air mataku mengalir. Nasibku sungguh tragis, hidup menggelandang sebagai pengemis di jalanan tanpa menikmati hasil dari mengemis sepenuhnya, karena sebagian harus disetor ke bang Andreas.
"Bang..aku laper.." Jawabku pelan.
"Makanya cari duit biar kamu dapat makan..!" Bentaknya.
"Tapi dari semalem perutku kosong."Balasku.
"Aghhh..tidak peduli, pokoknya kamu harus dapet duit klo mau makan..!" Bentaknya lagi. Bang Andreas pergi meninggalkanku. Jujur aku kesal dengan Bang Andreas. Udah jelek, gendut, sok ngatur pula. Pengen rasanya jitak kepalanya ! Huft.
“Gong..! ngemis bareng aku yuk?” Ajakku kepada Jigong, seniorku dikomunitas gembel ini.
“Ogahh Cung..!!  gue mau ngamen aja! Nggak bakat gue kalo ngemis! Hehe..” Tolak Jigong dengan senyum khasnya yang sangat menyebalkan.
“Huft.. ya sudahlah.” Desahku.
Beberapa temanku sudah beranjak mengais rezekinya siang ini.
“Kampret ujan deres lagi..!” Gerutuku saat akan turun ke jalan cari mangsa. 
Siang ini aku merasa sangat kesal, perutku belum diisi apa-apa dari pagi, tetap saja dipaksa mengemis di jalanan. “Ahhh... sial..sial...” gumamku kesal sambil menyambar kaleng tempat untuk mengumpulkan recehan. Karena hujan masih cukup deras, aku berjalan melewati emperan toko sambil menengadahkan tangan meminta belas kasihan. Beberapa orang menaruh recehan dalam kalengku, tapi tak sedikit pula yang menatapku menghina, hatiku kecut.
“Oii..Cung kerja yang bener loe..!!” bentak bang Iwan, bawahan bang Andreas yang bertugas mengawasi komunitas gembel dalam mengumpulkan recehan.
“Ini udah bener bang..!!” jawabku tak kalah suara.
Jujur, aku merasa kesal dan iba kepadaku sendiri kepada rekan-rekanku sesama gembel. Dengan kondisi yang tertindas masih tetap saja diawasi ketika menjaring receh. Bang Andreas tidak sendiri menindas kami, laskarnya lumayan banyak dan punya tugas masing-masing. Ada yang bertugas membagi lokasi tempat kami ngamen dan ngemis, sampai ada juga yang tugasnya mengawasi gerak-gerik kami. Sungguh bikin naik darah, sebagai kaum marginal yang terpinggirkan dan tertindas, kami tak punya kekuatan yang cukup untuk melawan.
“Cung..!! dah dapet berapa loe?” bisik Lurik saat berpapasan denganku didepan toko sepatu.
“Baru goceng neh..” Jawabku pendek.
“Udah buruan..ditunggu bang Andreas di ujung sono tuh..!” Tambah Lurik sambil menunjukan jari kearah lampu merah, tempat bang Andreas nongkrong.
Jalanan Malioboro sesak dengan kendaraan berlalu-lalang, aku kadang merasa heran, hendak kemanakah mereka?. Kendaraan setiap hari hilir mudik tanpa jeda. Ahh..bukan urusanku, yang penting sekarang aku harus segera setor hasil mengemisku dan minta jatah makan. Perutku sudah sangat keroncogan, ditambah basah kuyup kehujanan sedari tadi membuat badanku semakin mengigil dan pucat. Kulihat beberapa temanku sesama gembel tengah mengais rezekinya masing-masing. Lotek si gembel cewek yang sedikit pemalu sedang menawarkan jasa suaranya yang pas-pasan kepada pembeli bakso, ngamen. Ada si Oblong dengan muka memelasnya sedang menengadahkan tangan di lampu merah, sama sepertiku mengemis. Sungguh menyedihkan.
Tak terasa hari sudah semakin beranjak sore, waktuku merapat kepada bang Andreas menyetor pendapatanku hari ini. Kulihat beberapa temanku sudah selesai tugas dan mendapat jatah makan. Aku tak perlu meminta jatah makan siang ini, tapi sewaktu mengemis ditukang ketupat tahu, aku mendapat makan bukan uang. Mungkin wajahku yang kumal dan pucat membuat bapak yang berjualan tidak tega, dan akhirnya memberiku seporsi ketupat tahu, sedapp.
“Sini Cung! Kumpulin duitnya jadi satu.” Ujar bang Andreas.
“Abis ini..kalian semua langsung pulang! Nanti abang mau ngomong masalah penting.” Tambah bang Andreas kepada kami semua yang duduk didekatnya.
“Iya bang..!!” Jawab kami serentak.
Segera kukemasi kaleng recehku, aku berjalan pulang ke tempat singgahku. Dalam perjalanan aku merenung panjang. Alangkah enaknya mereka para orang kaya, hidup enak, makan enak, tak perlu bersusah payah mengemis sepertiku. Terkadang dalam mengemis bukan receh yang ku dapat, melainkan makian dan hinaan. Hidup miskin dan tertindas menghiasi hari-hariku. Uang yang ku dapat dari hasil mengemis tak ku nikmati sepenuhnya. Adilkah hidup ini? Kadang aku menghujat tuhan. Kenapa aku yang miskin dan lemah tetap ditindas, sedangkan mereka orang kaya dapat melenggang bebas. Recehan yang ku kumpulkan masih harus dibagi-bagi. Kemanakah keadilan hidup!! Batinku memberontak.
Aku yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan menikmati hidup dengan sekolah dan bermain bersama teman-teman, semua dirampas oleh hidup ini. Sebagai gantinya aku harus menggelandang meminta belas kasian, mengemis menggadaikan martabatku. Aku pun tak luput menghujat negaraku yang katanya makmur ini. Makmur, hahaha..aku sangat tidak setuju, mana buktinya? Anak-anak terlantar sepertiku, katanya menjadi tanggung jawab dan dalam perlindungan negara, bullshit..! negaraku pembohong, dan hanya makmur buat para koruptornya.
Batinku menjerit di jalanan, jiwaku memberontak dalam tindasan. Aku harus kuat, aku harus sabar. Jalanan memberikan sensasi hidup yang luar biasa. Makian orang hal biasa, sindiran menjadi menu wajib. Aku ingin bebas, aku ingin hidup dalam rumahan, tekad batinku.
“Ada apa Cung ?” tanya Oblong tiba-tiba membuyaran lamunanku.
“Nggak ada apa-apa kok.” Jawabku singkat.
“Udah buruan sini bang Andreas mau ngomong tuh!” tambahnya lagi.
“Hahh?” aku kaget, tidak sadar aku telah sampai tujuan.
Sekelilingku telah banyak yang duduk siap mendengarkan ceramah bang Andreas, diluar masih sedikit gerimis, langit rasanya belum puas menumpahkan apa yang dikandungnya. Badanku semakin menggigil karena belum sempat ganti pakaian.
“Ehemm.. Hari ini adalah hari terakhir kalian.” Bang Andreas membuka suara.
“Dan dengan ini, kalian resmi menjadi saudara kami.” Tambah bang Andreas sambil menyiramkan air bunga di atas kepala kami.
“Horee...” Seru kami semua.
“Ahhh..akhirnya selesai peranku.” Desahku lega.
Langit terlihat sedikit lebih cerah, walaupun badan terasa dingin, tapi aku lega. Batinku sembuh, aku bukanlah seorang pengemis, begitu pula teman-temanku sesama gembel. Mereka bukan pengamen dan juga pengemis. Kami hanya menjalani peran sebagai syarat diterima di organisasi teater di kampusku. Aku bersyukur punya kesempatan menjajal kehidupan jalanan. Perih hati mengingatnya, malu hati mengenangnya. Biarlah semua berlalu, menjadi kenangan untuk dapat kutulis sedikit cerita, sebuah persaudaraan gembel yang menjalani lakon dalam panggung sandiwara kehidupan jalanan.

Kulon Progo, 23 Juni 2013
In Memoriam Workshop P.T. Bening tahun 2011
Sedikit Flash Back untuk kalian keluargaku di sanggar Bening