Latar
Belakang
Harta
wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus
dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf
adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka
keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana
yang telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam. Indonesia masih
terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama
Islam dan menempati ranking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi
dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus
dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Negara Indonesia memiliki masyarakat
yang mayoritas beragama Islam.
Wakaf sebagai
suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga
berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi
bekal bagi kehidupan wakaf di akherat. Sedangkandalam fungsi sosial wakaf
merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan.
Munculnya
penyimpangan pada pengelolaan wakaf akan menjadikan suatu masalah serius dalam
dinamika kehidupan beragama di negara Indonesia apabila penyelesaian atas
masalah tersebut tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan
perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak
ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang
terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan
pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang
diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi
permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui
kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.
Praktik
perwakafan tanah di Indonesia
Dalam
undang-undang RI tentang wakaf diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 yang
menjelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf sebagai
salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa
tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya
pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan
perumahan perorangan maupun untuk pembangunanpembangunan prasarana umum seperti
jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula.
Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk
memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam
memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah menunjukkan bahwa masih ada daerah
terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di daerah-daerah yang
penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orangorang yang
menggarapnya.
Hal lain yang
sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah
dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai
secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad
wakaf.Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta
kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi
ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu
tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf
dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif. Namun khusus untuk wakaf tanah,
ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas
tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat
diminta kembali.
Selanjutnya
mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan
penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya
pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir
beranggapan bahwa tanah tersebut milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas
sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris
Nadzir.
Solusi
Pasal
62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menegaskan bahwa
penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat.
Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya
disebutkan dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati
oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan
sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah.
Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka
sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah.
Selain
daripada itu, tugas BWI sebagai lembaga tertinggi dalam hal perwakafan harus
lebih aktif lagi membina para nadzir dalam hal penerimaan dan pengelolaan harta
wakaf. Karena sangketa yang terjadi dalam wakaf tanah ini karena kurang
profesionalnya nadzir dalam menerima tanah wakaf saat akad wakaf terjadi.
Seharusnya ketika ada wakif yang akan mewakafkan sebidang tanah, nadzir harus
memberikan fasilitas notaris apabila tanah tersebut belum mempunyai akta atau
sertifikat tanah. Nadzir juga harus memberikan sertifikat wakaf yang
dikeluarkan oleh BWI sebagai bukti yang menjelaskan apasaja akad yang tertuang
dalam wakaf tersebut, apakah akad wakaf tanah untuk selamanya atau hanya untuk
jangka waktu tertentu. Sehingga tidak akan terjadi sangketa antara ahli waris
wakif dan nadzir karena telah memiliki bukti akad wakaf yang sah dan dikuatkan
secara hukum. Yang tidak kalah penting adalah adanya para saksi ketika akad
wakaf terjadi.
Kesimpulan
Permasalahan
wakaf tanah di Indonesia sering kali terjadi, karena selain praktiknya masih
menggunakan cara agamis, juga masih minimnya nadzir yang profesional dalam hal
mengelola harta wakaf. Padahal dalam undang-undang menyebutkan bahwa hak nadzir
adalah 10% atas pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Hal ini merupakan
potensi seperti halnya profesi amil yang mendapatkan 12,5% atas harta
penerimaan zakat
Permasalahan
sangketa tanah di Indonesia sudah seharusnya tidak terjadi lagi. BWI harus
dapat meningkatkan perannya sebagai
badan wakaf yang paling bertanggung jawab atas segala permasalahan wakaf yang
ada, tentu saja pemerintah juga bertanggung jawab sebagai regulator atas
undang-undang wakaf.
Nadzir
saat ini harus menjalankan tugasnya sebagai pengelola harta wakaf secara
profesional, tidak hanya dikerjakan secara agamis tapi juga bisa mengikuti
perkembangan zaman dalam hal pengelolaan.
Daftar
Pustaka
Ismawati. 2007.
Penyelesaian Sangketa Tanah Wakaf, StudiTerhadaf Tanah Wakaf Banda Masjid
Agung Semarang. Semarang : Tesis UNDIP.
Musthofa,
Hidayatul. Sangketa Wakaf Tanah, Makalah Fakultas Syariah. lantaburnet.blogspot.com Diakses pada 22 November 2013.
UU No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf
Mohon maaf paman setahu saya wakif adalah si penerima harta wakaf bukan si pewakaf dan si nadzir adalah sebagai saksi maaf klo salah
BalasHapusIya emang bapak salah kok...wakif pemberi wakaf...nadzir penerima wakaf
Hapus