Jika
kita putar ulang memori kita ketika masih duduk dibangku sekolah dasar dulu,
masih terasa segar ingatan kita ketika guru pelajaran IPS menerangkan bahwa
negara Indonesia adalah negara agraris dengan berbagai macam kekayaan alam yang
terkandung di bumi pertiwi ini. Dan sampai saat ini pun dalam buku-buku mereka
yang masih duduk di sekolah dasar masih menyebutkan bahwa Republik Indonesia
sebagai negara agraris. Tapi masih kah
indonesia disebut sebagai negara agraris? Dan masih banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang menyangsikan bahwa Republik ini masih layak di sebut
sebagai negara agraris.
Tentunya
pertanyaan-pertanyaan tersebut sah-sah saja dan boleh dilontarkan oleh siapapun
yang mulai menyadari bahwa negara yang kita tinggali ini mulai meninggalkan budaya
kehidupan agraris. Negara agraris adalah negara yang sebagian besar
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan hasil pertanian
diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian negara. Disebut juga negara
agraris jika suatu negara menopangkan perekonomian pada hasil peternakan,
perkebunan dan dari hasil kelautan. Di era Orde Baru, di masa
Presiden Soeharto berkuasa, Indonesia mampu menjadi negara swasembada beras
hingga diberi penghargaan oleh lembaga pangan PBB, FAO. Jauh sebelumnya, di zaman
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, negara kita terkenal dengan lahan pertanian
yang subur dan sumber utama penghasil beras. Namun, ironisnya, hal itu kini
menjadi kebalikan. Malah Indonesia pula yang mengimpor beras, garam, daging
sapi, ikan,kedelai, dan buah-buahan dari negara lain.
Dan faktanya saat ini
ketika pemerintah harus mendukung sektor pertanian dan para petaninya ternyata
adalah kebalikannya, saat ini petani harus bersaing dengan pemerintah dengan
kebijakan impornya. Hasil dari pertanian lokal harus bersaing dipasaran dengan
hasil pertanian negara lain yang diimpor oleh pemerintah. Dan lebih menyakitkan
lagi “produk lokal” pertanian republik ini kian tersisihkan bukan hanya karena
mutunya yang rendah tapi mental bangsa ini yang bangga memakai produk luar
negeri. Pemerintah
bak kacang lupa kulitnya. Petani sebagai stakeholder yang mendukung
sektor ini dan seharusnya mendapat perhatian, justru terabaikan. Mereka
terpinggirkan, mereka miskin dan mereka seringkali tidak dianggap ada sehingga
tak perlu pula didengar suaranya, kecuali menjelang pemilu. Pengabaian terhadap
petani sudah tersurat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(2010-2014) yang menempatkan Ketahanan Pangan sebagai prioritas kelima .
Artinya nasib petani, nelayan kecil, pekebun kecil bukan yang utama.
Tidak
heran jika pemerintah sangat mengandalkan kebijakan impor berbagai komoditi
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ironisnya, sebagai negara agraris,
Indonesia menjalankan kebijakan impor produk pertanian yang sesungguhnya semua
tersedia di dalam negeri.Faktanya, kebijakan impor yang ironis itu seolah
memberi gambaran kontraproduktif atas potensi Indonesia sebagai negara agraris.
Hal itu yang sempat dikeluhkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan.
"Kita malu negera agraris tapi banyak impor," ujar Dahlan. Menurut
Suadi dalam Harian Analisis menyebutkan luas lahan pertanian sekitar 40,6 juta
hektar, Indonesia merupakan kekuatan pangan dunia yang seharusnya menjadi
lumbung beras internasional. Minimal di kawasan Asia Tenggara. Namun,
kenyataannya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, pemerintah masih
mengimpor beras dari Thailand, Vietnam, China, bahkan Kamboja. Sebuah fenomena
luar biasa yang dilakukan oleh sebuah negara yang sejatinya terkenal sebagai
negara pertanian penghasil beras sejak berabad-abad yang silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar