Selasa, 02 April 2013

Mempertanyakan Status Agraris Indonesia


Jika kita putar ulang memori kita ketika masih duduk dibangku sekolah dasar dulu, masih terasa segar ingatan kita ketika guru pelajaran IPS menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris dengan berbagai macam kekayaan alam yang terkandung di bumi pertiwi ini. Dan sampai saat ini pun dalam buku-buku mereka yang masih duduk di sekolah dasar masih menyebutkan bahwa Republik Indonesia sebagai negara agraris. Tapi masih kah indonesia disebut sebagai negara agraris? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang menyangsikan bahwa Republik ini masih layak di sebut sebagai negara agraris.
Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut sah-sah saja dan boleh dilontarkan oleh siapapun yang mulai menyadari bahwa negara yang kita tinggali ini mulai meninggalkan budaya kehidupan agraris. Negara agraris adalah negara yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan hasil pertanian diunggulkan sebagai tulang punggung perekonomian negara. Disebut juga negara agraris jika suatu negara menopangkan perekonomian pada hasil peternakan, perkebunan dan dari hasil kelautan. Di era Orde Baru, di masa Presiden Soeharto berkuasa, Indonesia mampu menjadi negara swasembada beras hingga diberi penghargaan oleh lembaga pangan PBB, FAO. Jauh sebelumnya, di zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, negara kita terkenal dengan lahan pertanian yang subur dan sumber utama penghasil beras. Namun, ironisnya, hal itu kini menjadi kebalikan. Malah Indonesia pula yang mengimpor beras, garam, daging sapi, ikan,kedelai, dan buah-buahan dari negara lain.
Dan faktanya saat ini ketika pemerintah harus mendukung sektor pertanian dan para petaninya ternyata adalah kebalikannya, saat ini petani harus bersaing dengan pemerintah dengan kebijakan impornya. Hasil dari pertanian lokal harus bersaing dipasaran dengan hasil pertanian negara lain yang diimpor oleh pemerintah. Dan lebih menyakitkan lagi “produk lokal” pertanian republik ini kian tersisihkan bukan hanya karena mutunya yang rendah tapi mental bangsa ini yang bangga memakai produk luar negeri. Pemerintah bak kacang lupa kulitnya. Petani sebagai stakeholder yang mendukung sektor ini dan seharusnya mendapat perhatian, justru terabaikan. Mereka terpinggirkan, mereka miskin dan mereka seringkali tidak dianggap ada sehingga tak perlu pula didengar suaranya, kecuali menjelang pemilu. Pengabaian terhadap petani sudah tersurat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014) yang menempatkan Ketahanan Pangan sebagai prioritas kelima . Artinya  nasib petani, nelayan kecil, pekebun kecil bukan yang utama.
Tidak heran jika pemerintah sangat mengandalkan kebijakan impor berbagai komoditi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ironisnya, sebagai negara agraris, Indonesia menjalankan kebijakan impor produk pertanian yang sesungguhnya semua tersedia di dalam negeri.Faktanya, kebijakan impor yang ironis itu seolah memberi gambaran kontraproduktif atas potensi Indonesia sebagai negara agraris. Hal itu yang sempat dikeluhkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan. "Kita malu negera agraris tapi banyak impor," ujar Dahlan. Menurut Suadi dalam Harian Analisis menyebutkan luas lahan pertanian sekitar 40,6 juta hektar, Indonesia merupakan kekuatan pangan dunia yang seharusnya menjadi lumbung beras internasional. Minimal di kawasan Asia Tenggara. Namun, kenyataannya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, pemerintah masih mengimpor beras dari Thailand, Vietnam, China, bahkan Kamboja. Sebuah fenomena luar biasa yang dilakukan oleh sebuah negara yang sejatinya terkenal sebagai negara pertanian penghasil beras sejak berabad-abad yang silam.

Dan masih banyak sekali permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah tangga negara ini, selain  masalah diatas antara lain Generasi muda di Indonesia yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat teknologi, kreasi, seni dan olahraga dibandingkan harus berkotor-kotoran turun kesawah untuk mencangkul atau membajak sawah, karena mereka fikir gengsi dan harga diri lebih tinggi harganya dari pada hanya untuk meningkatkan kualitas pertanian di Indonesia. Mereka mulai terhipnotis oleh budaya-budaya luar yang memberikan segala hal yang membuat mereka lebih dipandang oleh orang lain, tanpa memikirkan dari mana nasi, ayam, ikan, sayur-mayur dan atau daging yang mereka makan sehari-hari. Mereka berfikir bahwa bertani hanya pekerjaan kaum bawah, pekerjaan kotor, tidak berkelas dan tidak terpandang jika dinilai orang. Sungguh fenomena yang bisa dikatakan luar biasa dimana ketika generasi sebuah agraris namun menghindari hal-hal yang berbau agraris, mungkin pertanyaan diatas mendapat sedikit jawaban ketika ditanya, “masih kah indonesia disebut sebagai negara agraris?”  jawabannya “ iya, dulu negara ini pernah menjadi negara agraris”. Menyedihkan memang, ketika jawabannya ada kata “dulu” yang menunjukan seperti hanya tinggal sejarah. Ya sejarah sebuah negara mantan negara agraris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar